Minggu, 06 Desember 2009

Aspek Biologi Daya Metafisika

Salah satu perbedaan fisika dan metafisika terletak pada soal tingkat kehalusan (‘refinement’) dari pada energi yang terlibat. Aura manusia, misalnya, tidak kasat mata (bagi orang biasa seperti kita). Namun, ternyata aura juga dapat dipotret lewat teknik ‘Kyrlian Photography.” Artinya, aura memang eksis sebagai fenomen fisikal. Makanya dapat dipotret. Kalau penasaran, silahkan meninjau ke fasilitator pemotretan aura di Hotel Wisata (belakang HI) atau ke Pluit Mall. Itu berarti, bahwa apa yang tidak kasat mata bagi seseorang, belum tentu bukan merupakan suatu fenomen fisikal atau tidak dapat ditangkap. Itu hanya masalah kemampuan dan kepekaan daya tangkap inderawi saja.

Liu Chao Xing, seorang petani di desa Cao-Gang, kabupaten Feng-Qiu, provinsi He-Nan, Cina mampu membaca terus kartunya pada saat sedang main kartu dengan teman-temannya ketika listrik tiba-tiba padam. Liu Xin Ping, seorang reporter harian Da He Bao, He-Nan tidak begitu saja mempercayai berita tersebut maka ia segera menghubungi Na Zhi Ping, dokter spesialis mata di RSP Xin Xiang. Kesimpulan sementara, Liu Chao Xing memiliki ketajaman penglihatan seperti mata seekor burung hantu. (Sumber: Erabaru.or.id).

Burung hantu dengan sudut putar kepalanya yang 270 derajat mampu memetakan secara eksak lokasi mangsanya dari jauh dan dalam kegelapan malam. Kemudian ia mencengkeram mangsanya dengan presisi yang mengagumkan. Seekor burung rajawali atau elang mampu melihat mangsanya jauh dari atas angkasa. Ular juga mampu “membaca” aura hawa panas yang keluar dari tubuh mangsanya dari jarak yang jauh. Anaconda mampu mendeteksi getaran bumi saat prospek mangsa melewatinya dengan syaraf-syaraf perabaan di balik sisik-sisiknya. Burung bangau dan pemangsa ikan lainnya mampu melihat ikan di bawah air dengan segala tipuan sudut bias permukaan air dan terbang tepat di atas mangsanya untuk mecekamnya dengan kedua cakarnya tanpa meleset satu incipun.

Bahwa hewan memiliki kemampuan inderawi melebihi manusia sudah umum kita ketahui. Itulah gunanya anjing pelacak untuk membantu polisi mencari narkoba atau maling dan penjahat yang dilacak. Seekor anjing mampu mendengar deruman mobil tuannya pada jarak beberapa ratus meter dari rumah. Anjing mampu mendeteksi vibrasi “setan yang lewat” sehingga ia kemudian mulai melolong-lolong. Jenis lolongnya berbeda dari lolongan saat ia sedang kasmaran pada musim kawin.

Burung kondor – si pemakan bangkai – memiliki kemampuan indera penciuman (olfactory) yang luar biasa. Pada saat suatu hewan mati maka bakteri pembusuk mulai bekerja. Pada tingkat akumulasi bau busuk sampai tingkat tertentu, maka aroma bangkai itu langsung dapat ditangkap oleh pusat syaraf penciuman yang berada di kepala burung pemakan bangkai tersebut. (Sumber: Discovery Channel)

Penulis sendiri sesekali mampu mencium aroma basi dari makanan beberapa jam sebelum makanan tersebut menjadi benar-benar basi, sementara rekan-rekan lain masih dengan lahapnya menyantap makanan tersebut tanpa mencium aroma apapun. Demikian pula kemampuan memastikan seseorang sudah mandi atau belum melalui aroma feromon keringatnya. Artinya, tingkat kemampuan seseorang untuk mendeteksi tingkat aktivitas dan akumulasi bakteri pembusuk pada makanan berbeda-beda. Celakanya, kalau ada tikus atau cecak mati di rumah lalu saya yang selalu disuruh mencari, padahal bau sedikit saja sudah mampu merangsang saya untuk muntah-muntah. Banyak di antara kita yang “meremang bulu kuduk” bila berada di tempat yang “angker”.

Masalahnya bukan soal orang mau percaya atau tidak percaya akan fenomen keangkeran, melainkan semata-mata bersifat fisikal. Kehadiran ‘entitas non-fisik’ yang mempunyai ‘type vibrasi’ tertentu itu, keberadaannya dapat diserap oleh indera perabaan (tactile) yang syaraf-syaraf perifernya tersebar di seluruh permukaan kulit. Putri saya bahkan mampu melukis entitas tersebut komplit dengan kostumnya. Jadi bagaimana melukis sesuatu yang sebenarnya memang tidak ada? Kemungkinannya hanya dua. Entitas itu benar-benar eksis. Atau putri saya yang pandai mengada-ada. Kemungkinan yang pertama beberapa kali diverifikasi oleh yang mempunyai “mata ketiga”.

Mungkin kepekaan syaraf-syaraf tersebut pada bagian tengkuk dan pipi melebihi bagian-bagian kulit lainnya. Ingat saja mengapa seorang perawan dapat tersipu-sipu dan merah pipinya karena malu saat digoda kawan-kawannya soal kekasihnya. Pipa-pipa kapiler di kulit wajah mungkin lebih sensitif dan lebih cepat menerima aliran darah sehingga cepat pula menjadi merah. Atau sebaliknya, menjadi pucat kalau kekurangan darah, karena ketakutan dsb. Makanya ada istilah “muka badak” atau “rai gedeg” (rai = muka/wajah; gedeg = anyaman kulit bambu yang biasa dipakai untuk dinding gubuk) yang tidak berubah-ubah walaupun sangat dipermalukan – atau telah melakukan perbuatan yang memalukan.

Yang namanya jengkerik atau kecoak mampu mendeteksi bakal datangnya hujan dengan sungut kembarnya di mana ia merasakan naiknya kelembaban udara yang berisi kandungan air lebih banyak dan tekanannya yang lebih besar dari biasanya. Binatang buas di hutan segera lari dan turun gunung jauh sebelum gunung meletus. Mereka merasakan meningkatnya suhu udara panas yang keluar dari kepundan. Bahkan menjelang tsunami besar di Aceh satwa liar juga lari menjauhi kawasan pantai.

Hewan kok mampu mendeteksi hal-hal seperti itu dengan “kecerdasan instinktifnya” tetapi mengapa manusia yang juga mempunyai perangkat yang sama, bahkan jauh lebih canggih lagi dari hewan – malah tidak mampu melakukannya? Salah satu sebabnya ialah nyawa hewan amat sangat tergantung pada satu-satunya “kecerdasan intuitif” yang dimilikinya. Karena hewan memang tidak memiliki teknologi, tetapi manusia lebih dan terutama menggantungkan diri pada “kecerdasan rasionalnya” dengan mengembangkan berbagai teknologi untuk membantu “menyelamatkan” nyawanya. Arsitektur unik dan pekerjaan sipil membuat sarang burung manyar dimiliki setiap burung manyar secara instinktif. Mereka sama sekali tidak memiliki teknologi berdasarkan kecerdasan rasional.

Demikian pula jaring laba-laba yang sangat simetris dan konsentris tidak dibangun atas dasar ilmu teknologi rasional.

Dapat dan patut diperkirakan bahwa gejala-gejala metafisika pada umumnya mempunyai dasar-dasar biologi. Pada umumnya dasar-dasar biologi itu berpusat pada bagian-bagian otak sibernetik manusia. Dalam hal suara atau cahaya kita belajar dari ilmu fisika bahwa penyalurannya melalui pancaran gelombang. Misalnya gelombang LF, HF atau UHF. Atau getaran suara yang diukur dengan satuan desibel, dan ada istilah-istilah matra seperti ‘sub-sonic’, ‘super-sonic’ dan ultra-sonic’. Untuk indera perabaan, penciuman serta pencecapan belum ada ukuran yang kita kenal. Untuk bau tentunya juga merambat lewat aliran udara yang juga bergelombang. Apakah bau itu ‘mengikat diri’ pada partikel massa sub-atomik yang tersebar di mana-mana di ruang angkasa ini masih menjadi pertanyaan besar. Entitas bau itu an sich pastilah tidak ada; yang ada ialah partikel sub-atomik yang membawa (menjadi carrier dari) bau tersebut.

Pertanyaan mendasarnya ialah apakah secara biologi kepekaan inderawi tersebut dapat diasah? Kemudian pengasahan tersebut dapat mencapai semaksimal sampai batas mana? Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana cara untuk mengasahnya? Dalam wacana dan latihan Transcendental Meditation (TM), perguruan dari Maharishi Mahesh Yogi ada teknik-teknik untuk memperoleh “fine hearing”, “fine sight” dan sebagainya. Dari latihan intensif seperti itu memang ada meditator yang mampu mendengar suara detik jam pada jarak yang relatif cukup jauh. Menarikkah? Bermanfaatkah? Jawabannya tentu saja bersifat individual dan tergantung skala prioritasnya. Pada orang tertentu skalanya nol koma nol.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bila “keheningan” dapat diciptakan untuk waktu yang cukup lama, maka “kemampuan-kemampuan khusus” otak hemisfir kanan semakin dapat dirangsang dan dikembangkan. Termasuk kreatifitas berpikir. Yang sederhana saja ialah latihan fokus. Duduklah sendirian di keheningan malam – lebih bagus lagi di pinggiran kota – pejamkan mata dan coba bedakan dan ikuti terus secara simultan minimal 5 suara yang berbeda-beda. Apakah kita mampu melakukannya secara serius dan kontinyu? Bila sudah mampu membedakan 5 suara dapatlah kemudian ditingkatkan menjadi 7 atau 10 suara. Mampukah? Semuanya hanya tergantung fokus dan latihan saja.

Tetapi apa faktor biologi di balik semuanya itu? Unsur terpenting ialah kemauan (will power). Ada kemauan atau tidak? Kemauan baja atau kemauan tempe? Kemauan itu menggerakkan (sebut saja “memerintahkan”) serabut syarat retikuler (RAS) untuk mulai membeda-bedakan variabel-variabel informasi yang kita inginkan – dari yang lainnya yang tidak kita inginkan. Maka RAS itu membantu kita semaksimal mungkin untuk melakukannya.

Sewaktu mengetik artikel ini misalnya, saya mendengar suara derum halus PC saya, suara ketikan pada keyboard, suara derum beberapa motor di kejauhan, suara pintu mobil yang dibanting, suara klakson motor, suara pintu pagar tetangga yang dibuka, suara desiran kipas angin, suara mesin cuci tukang cuci di atas, suara detak jarum jam di tembok, suara tukang buah menjajakan dagangannya, suara burung yang berceracau di pohon mangga sebelah, suara benturan piring di dapur, suara tetangga yang memanggil pembantunya, suara kapal terbang yang lewat dari arah Cengkareng. Jadi ada berapa jenis suara “sekali-sekali” di samping “suara kontinyu” yang tertangkap?

Kita semua memiliki faktor biologi. Kita semua memiliki fakultas “kecerdasan intuitif”. Apakah kita mau meningkatkan baik “kecerdasan intelektual” bersamaan dengan “kecerdasan intuitif”? Untuk apa? Tentu saja untuk menjadi manusia yang lebih utuh, lebih lengkap, untuk mampu menjadi manusia intelektual sekaligus yang bernaluri kuat. Untuk itu kita semua sama-sama memiliki “common platform” biologis yang sama. Memiliki lima indra yang lengkap. Memiliki pusat sibernetika di dalam tempurung kepala dengan dua belahan pinang. Otak yang hanya 10% kapasitasnya terpakai dan masih sangat besar kemungkinannya untuk pengembangannya. Kalau mau tentunya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar